Minggu, 28 Februari 2010

Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan Ditulis oleh Toto Suryaningtyas Selasa, 26 Juni 2007

Sebagai sebuah kekuatan politik, gerakan organisasi kemahasiswaan masih memiliki
legitimasi moral yang kuat. Sayangnya, meskipun harapan tinggi masih diletakkan ke
pundak mahasiswa, ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian melempem
dalam menanggapi berbagai permasalahan riil bangsa saat ini.
Mantan Ketua MPR Amien Rais yang pernah menjadi ikon gerakan Reformasi 1998,
dalam seminar mahasiswa akhir 2005, menilai, gerakan mahasiswa pascakejatuhan
Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti ”mati
suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan
mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-
12-2005).
Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen Amien, pandangan yang sama agaknya kini
juga dirasakan publik. Separuh bagian (50 persen) responden jajak pendapat menilai
peranan mahasiswa dalam menyikapi berbagai kondisi bangsa semakin turun, meski 45,4
persen responden berpendapat sebaliknya. Kiprah gerakan politik mahasiswa yang
sebelumnya bersemangat menyuarakan reformasi semakin sayup terdengar. Setelah rezim
Soeharto tumbang, praktis tidak tampak lagi kebersamaan kaum muda memelihara hasil
reformasi.
Meskipun dari segi nilai politik gerakan yang dilakukan mahasiswa penting sebagai
penyeimbang kekuatan politik negara, aksi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan
pemerintah tidak lagi memiliki kekuatan signifikan. Seandainya ada, relatif dilakukan
terpecah-pecah dan tidak ada gerakan terpadu. Dalam pandangan sebagian responden (43
persen), kondisi demikian digambarkan sebagai gerakan politik yang terkotak dalam
politik aliran tertentu.
Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang semestinya mendapat kontrol ketat bisa lolos
dengan relatif mulus. Kenaikan harga BBM, kenaikan tunjangan anggota DPR, gagalnya
usulan hak angket dan interpelasi DPR merupakan contoh mandulnya kontrol kebijakan
lewat jalur birokrasi dan parlemen. Jalur kontrol kebijakan publik melalui birokrasi dan
parlemen sulit diandalkan. Sementara kontrol ekstra parlementer pun terkesan
melempem.
Harapan terhadap revitalisasi peranan mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan
tercermin dari ketidakpuasan publik yang membesar terhadap kiprah mahasiswa.
Demikian juga sikap kritis gerakan politik mahasiswa dalam menyikapi kinerja
pemerintah, DPR, maupun lembaga penegak hukum, digugat sekitar seperempat bagian
responden (22-27 persen). Besarnya proporsi sikap kurang puas responden dalam menilai
gerakan organisasi mahasiswa, meski tidak dominan, bermakna signifikan mengingat
citra dan apresiasi gerakan mahasiswa selama ini mendapat nilai positif yang tinggi dari
masyarakat. Sebanyak 71,2 persen responden masih menilai citra organisasi mahasiswa
baik dan 21 persen menilai buruk.
Sementara itu, organisasi mahasiswa yang pada masa lalu telah turut memainkan peranan
penting dalam sejarah perubahan kondisi bangsa ini, juga semakin tidak terdengar.
Penilaian kepuasan terhadap Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Front Aksi Mahasiswa untuk
Reformasi dan Demokrasi, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Jabotabek misalnya,
hanya sedikit di atas proporsi responden yang tidak puas. Sementara kiprah Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
maupun kelompok aktivis tahun 1998 seperti Forum Kota bahkan cenderung dinilai lebih
tidak memuaskan dalam kiprah politik mereka saat ini. Relatif besarnya jumlah
responden yang mengatakan tidak tahu mengenai gerakan mereka, menunjukkan kian tak
terdengarnya kiprah mereka di panggung sosial politik.
Boleh jadi, faktor pengenalan terhadap organisasi mahasiswa turut memengaruhi
penilaian. Namun, merunut hasil jajak pendapat mahasiswa sebelumnya (September
2003), jelas terlihat benang merah penurunan kiprah mahasiswa di mata publik. Saat itu,
rentang kepuasan masih cukup lebar: 57 persen responden menilai kiprah mahasiswa
lebih baik dan sama baik dibandingkan di saat reformasi, sementara sekitar 37 persen
lainnya menilai kiprah mahasiswa lebih buruk dan sama buruk.
Tak bisa dimungkiri, harapan yang ditumpukan kepada mahasiswa sebagai kekuatan
pengubah dan pembaru tak lepas dari peranan mahasiswa dalam setiap momen penting
bangsa ini. Sejak masa kemerdekaan, Orde Lama hingga Reformasi, gerakan mahasiswa
senantiasa memberi ide persatuan nasional, sikap kritis terhadap kekuasaan yang
menindas, dan keberpihakan yang tegas kepada kepentingan rakyat.
Di sisi internal mahasiswa, menurunnya persatuan gerakan mahasiswa (dan pemuda)
setelah tumbangnya Orde Baru membuktikan sulitnya institusi kepemudaan dan
mahasiswa bersatu dalam menghadapi persoalan masyarakat yang lebih riil. Penonjolan
kepentingan dan visi kelompok senantiasa muncul bagaikan duri dalam daging dari
sejarah pergerakan politik mahasiswa. Demikian juga potret saat ini, di tengah ”mati suri”
aksi mahasiswa, sebagian responden (40,2 persen) menilai gerakan mahasiswa masih
didominasi kepentingan dan visi kelompok.
Persoalan berikutnya terkait kompetensi intelektual mahasiswa sebagai kelompok yang
masih harus menekuni studi keilmuannya dan mengejar prestasi. Sejauh ini peranan
organisasi mahasiswa dinilai kurang menyentuh dimensi intelektualitas ketimbang
dimensi sosial dan politik. Hanya 52,8 persen responden yang memberi apresiasi
terhadap peran organisasi mahasiswa mengembangkan intelektualitas dibandingkan peran
dalam sosial kemasyarakatan (61,2 persen) dan peran dalam gerakan politik (64 persen).
Kompetensi menjadi berarti, karena pada gilirannya mahasiswa dituntut mampu bersaing
dalam pasar kerja dan hidup mandiri. Opini dari jajak pendapat September 2003
memperlihatkan pesimisme publik memandang tingkat kompetensi dan kemandirian
mahasiswa masa kini. Lebih banyak responden yang sependapat bahwa mahasiswa
kurang mandiri (48 persen, dibanding 44 persen yang mengatakan sudah mandiri); tidak
bisa bersaing dengan mahasiswa luar negeri (48 persen dibanding 48 persen yang
berpendapat sebaliknya), dan akhirnya tidak bisa turut menciptakan lapangan kerja (50
persen dibanding 46 persen yang mengatakan sebaliknya).
Minimnya kompetensi intelektual diperparah dengan sikap sebagian mahasiswa yang
terlibat dalam tawuran di kampus, penyalahgunaan narkotika, maupun gaya hidup asosial
dan hura-hura.
Kemurnian gerakan mahasiswa sering menjadi pertanyaan, apakah aktivitas di dalam
gerakan organisasi mahasiswa murni didasarkan keinginan melakukan perubahan kondisi
yang lebih baik, ataukah sekadar sebagai batu loncatan meraih kekuasaan atau kedekatan
politik dengan pusat kekuasaan. Fenomena aktivis mahasiswa ’98 yang menjadi caleg
pada Pemilu 2004 menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi publik percaya mereka
memiliki idealisme dan komitmen membela rakyat, sehingga mampu memperbaiki sistem
dari dalam. Namun di sisi lain, kondisi tersebut rawan godaan dan iming-iming materi
yang mengaburkan komitmen awal mereka. Seperti sinyalemen Amien Rais, gerakan
mahasiswa masa kini pasif, karena manusianya sedang dibelenggu kenyamanan hidup.
Sumber : Kompas, 6 Februari 2006
Diambil dari :
http://pelajarindonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5&Itemid=31

Tidak ada komentar: