Minggu, 28 Februari 2010

Gerakan Mahasiswa di Persimpangan Jalan Ditulis oleh Toto Suryaningtyas Selasa, 26 Juni 2007

Sebagai sebuah kekuatan politik, gerakan organisasi kemahasiswaan masih memiliki
legitimasi moral yang kuat. Sayangnya, meskipun harapan tinggi masih diletakkan ke
pundak mahasiswa, ada kecenderungan gerakan politik mahasiswa kian melempem
dalam menanggapi berbagai permasalahan riil bangsa saat ini.
Mantan Ketua MPR Amien Rais yang pernah menjadi ikon gerakan Reformasi 1998,
dalam seminar mahasiswa akhir 2005, menilai, gerakan mahasiswa pascakejatuhan
Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti ”mati
suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan
mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-
12-2005).
Terlepas dari benar atau tidaknya sinyalemen Amien, pandangan yang sama agaknya kini
juga dirasakan publik. Separuh bagian (50 persen) responden jajak pendapat menilai
peranan mahasiswa dalam menyikapi berbagai kondisi bangsa semakin turun, meski 45,4
persen responden berpendapat sebaliknya. Kiprah gerakan politik mahasiswa yang
sebelumnya bersemangat menyuarakan reformasi semakin sayup terdengar. Setelah rezim
Soeharto tumbang, praktis tidak tampak lagi kebersamaan kaum muda memelihara hasil
reformasi.
Meskipun dari segi nilai politik gerakan yang dilakukan mahasiswa penting sebagai
penyeimbang kekuatan politik negara, aksi yang dilakukan dalam menyikapi kebijakan
pemerintah tidak lagi memiliki kekuatan signifikan. Seandainya ada, relatif dilakukan
terpecah-pecah dan tidak ada gerakan terpadu. Dalam pandangan sebagian responden (43
persen), kondisi demikian digambarkan sebagai gerakan politik yang terkotak dalam
politik aliran tertentu.
Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang semestinya mendapat kontrol ketat bisa lolos
dengan relatif mulus. Kenaikan harga BBM, kenaikan tunjangan anggota DPR, gagalnya
usulan hak angket dan interpelasi DPR merupakan contoh mandulnya kontrol kebijakan
lewat jalur birokrasi dan parlemen. Jalur kontrol kebijakan publik melalui birokrasi dan
parlemen sulit diandalkan. Sementara kontrol ekstra parlementer pun terkesan
melempem.
Harapan terhadap revitalisasi peranan mahasiswa melalui organisasi kemahasiswaan
tercermin dari ketidakpuasan publik yang membesar terhadap kiprah mahasiswa.
Demikian juga sikap kritis gerakan politik mahasiswa dalam menyikapi kinerja
pemerintah, DPR, maupun lembaga penegak hukum, digugat sekitar seperempat bagian
responden (22-27 persen). Besarnya proporsi sikap kurang puas responden dalam menilai
gerakan organisasi mahasiswa, meski tidak dominan, bermakna signifikan mengingat
citra dan apresiasi gerakan mahasiswa selama ini mendapat nilai positif yang tinggi dari
masyarakat. Sebanyak 71,2 persen responden masih menilai citra organisasi mahasiswa
baik dan 21 persen menilai buruk.
Sementara itu, organisasi mahasiswa yang pada masa lalu telah turut memainkan peranan
penting dalam sejarah perubahan kondisi bangsa ini, juga semakin tidak terdengar.
Penilaian kepuasan terhadap Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Front Aksi Mahasiswa untuk
Reformasi dan Demokrasi, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Jabotabek misalnya,
hanya sedikit di atas proporsi responden yang tidak puas. Sementara kiprah Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia
maupun kelompok aktivis tahun 1998 seperti Forum Kota bahkan cenderung dinilai lebih
tidak memuaskan dalam kiprah politik mereka saat ini. Relatif besarnya jumlah
responden yang mengatakan tidak tahu mengenai gerakan mereka, menunjukkan kian tak
terdengarnya kiprah mereka di panggung sosial politik.
Boleh jadi, faktor pengenalan terhadap organisasi mahasiswa turut memengaruhi
penilaian. Namun, merunut hasil jajak pendapat mahasiswa sebelumnya (September
2003), jelas terlihat benang merah penurunan kiprah mahasiswa di mata publik. Saat itu,
rentang kepuasan masih cukup lebar: 57 persen responden menilai kiprah mahasiswa
lebih baik dan sama baik dibandingkan di saat reformasi, sementara sekitar 37 persen
lainnya menilai kiprah mahasiswa lebih buruk dan sama buruk.
Tak bisa dimungkiri, harapan yang ditumpukan kepada mahasiswa sebagai kekuatan
pengubah dan pembaru tak lepas dari peranan mahasiswa dalam setiap momen penting
bangsa ini. Sejak masa kemerdekaan, Orde Lama hingga Reformasi, gerakan mahasiswa
senantiasa memberi ide persatuan nasional, sikap kritis terhadap kekuasaan yang
menindas, dan keberpihakan yang tegas kepada kepentingan rakyat.
Di sisi internal mahasiswa, menurunnya persatuan gerakan mahasiswa (dan pemuda)
setelah tumbangnya Orde Baru membuktikan sulitnya institusi kepemudaan dan
mahasiswa bersatu dalam menghadapi persoalan masyarakat yang lebih riil. Penonjolan
kepentingan dan visi kelompok senantiasa muncul bagaikan duri dalam daging dari
sejarah pergerakan politik mahasiswa. Demikian juga potret saat ini, di tengah ”mati suri”
aksi mahasiswa, sebagian responden (40,2 persen) menilai gerakan mahasiswa masih
didominasi kepentingan dan visi kelompok.
Persoalan berikutnya terkait kompetensi intelektual mahasiswa sebagai kelompok yang
masih harus menekuni studi keilmuannya dan mengejar prestasi. Sejauh ini peranan
organisasi mahasiswa dinilai kurang menyentuh dimensi intelektualitas ketimbang
dimensi sosial dan politik. Hanya 52,8 persen responden yang memberi apresiasi
terhadap peran organisasi mahasiswa mengembangkan intelektualitas dibandingkan peran
dalam sosial kemasyarakatan (61,2 persen) dan peran dalam gerakan politik (64 persen).
Kompetensi menjadi berarti, karena pada gilirannya mahasiswa dituntut mampu bersaing
dalam pasar kerja dan hidup mandiri. Opini dari jajak pendapat September 2003
memperlihatkan pesimisme publik memandang tingkat kompetensi dan kemandirian
mahasiswa masa kini. Lebih banyak responden yang sependapat bahwa mahasiswa
kurang mandiri (48 persen, dibanding 44 persen yang mengatakan sudah mandiri); tidak
bisa bersaing dengan mahasiswa luar negeri (48 persen dibanding 48 persen yang
berpendapat sebaliknya), dan akhirnya tidak bisa turut menciptakan lapangan kerja (50
persen dibanding 46 persen yang mengatakan sebaliknya).
Minimnya kompetensi intelektual diperparah dengan sikap sebagian mahasiswa yang
terlibat dalam tawuran di kampus, penyalahgunaan narkotika, maupun gaya hidup asosial
dan hura-hura.
Kemurnian gerakan mahasiswa sering menjadi pertanyaan, apakah aktivitas di dalam
gerakan organisasi mahasiswa murni didasarkan keinginan melakukan perubahan kondisi
yang lebih baik, ataukah sekadar sebagai batu loncatan meraih kekuasaan atau kedekatan
politik dengan pusat kekuasaan. Fenomena aktivis mahasiswa ’98 yang menjadi caleg
pada Pemilu 2004 menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi publik percaya mereka
memiliki idealisme dan komitmen membela rakyat, sehingga mampu memperbaiki sistem
dari dalam. Namun di sisi lain, kondisi tersebut rawan godaan dan iming-iming materi
yang mengaburkan komitmen awal mereka. Seperti sinyalemen Amien Rais, gerakan
mahasiswa masa kini pasif, karena manusianya sedang dibelenggu kenyamanan hidup.
Sumber : Kompas, 6 Februari 2006
Diambil dari :
http://pelajarindonesia.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5&Itemid=31

Sabtu, 27 Februari 2010

Ilmuwan Temukan Asal Penularan HIV

LOS ANGELES--MI: Dengan menggunakan sejenis analisis genetika, beberapa ilmuwan Amerika Serikat menemukan bagaimana HIV menular di antara pria, demikian hasil satu studi baru.

Temuan itu dapat mengarah kepada pengobatan dan vaksinasi baru, demikian hasil studi oleh beberapa peneliti di University of California di San Diego.
Studi tersebut melibatkan sejumlah orang yang tak disebutkan yang secara seksual telah menularkan HIV mereka ke pria lain, kata para peneliti itu.

"Dengan mengetahui asal virus yang ditularkan, para ilmuwan mungkin dapat mengembangkan vaksin baru, microbicides vagina dan obat guna mencegah penyebaran HIV, yang menular melalui hubungan seks," kata pemimpin penulis studi tersebut Dr. Davey Smith, pembantu profesor bidang obat-obatan di University of California San Diego, dalam siaran pers universitas yang disiarkan oleh HealthDay News, Rabu (10/2).

Yang menjadi pembahasan ialah HIV pada sperma, yang terdiri atas sel sperma dan cairan yang disebut plasma sperma. Partikel HIV yang mengandung RNA ada di dalam cairan tersebut, sementara sel sperma menyimpan DNA HIV, demikian penjelasan para penulis studi tersebut.

"Setakat ini, belum ditetapkan apakah HIV RNA atau DNA ditularkan selama hubungan seks," kata Smith. "Dengan menganalisis perbedaan genetika antara kedua bentuk ini dan virus yang akhirnya ditularkan ke orang yang baru terinfeksi, kami mendapati bahwa bentuk HIV RNA yang terkandung di dalam plasma sperma lah yang ditularkan."

Sedangkan mengenai penularan HIV ke perempuan, Smith mengatakan, "Karena kebanyakan perempuan terinfeksi HIV melalui pajanan terhadap virus itu pada sperma, HIV RNA di dalam plasma sperma tampaknya adalah pelakunya tapi ini perlu dikonfirmasi." (Xinhua-OANA/Ant/OL-02)

Penanganan Terorisme di Indonesia Lebih Baik dari A


JAKARTA--MI: Penanganan terorisme di Indonesia berikut dampaknya dinilai lebih baik dibandingkan dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat sekali pun.

"Indonesia lebih baik dalam me-manage (menangani) terorisme dan dampak-dampaknya ketimbang negara lain, termasuk Amerika sekalipun," kata Direktur Internasional Crisis Group (DICG) Sidney Jones di sela Diskusi Kerja Mencegah Terorisme dengan Membangun Kepedulian dan Rasa Kemanusiaan di Jakarta, Sabtu (27/2).

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Asosiasi Korban Bom Terorisme di Indonesia (Askobi) bekerja sama dengan Global Survivor Network (GSN), sebuah organisasi yang mewadahi korban bom terorisme di seluruh dunia.

Menurut Sidney, Indonesia mampu mengadili para pelaku terorisme yang ditangkap setelah peristiwa bom dalam 10 tahun terakhir secara terbuka di depan pengadilan, sehingga siapa pun bisa mengakses dan mengetahui secara detil.

"Sedangkan di Amerika, tertutup. Bahkan di Guantanamo sampai saat ini masih ada korban penangkapan akibat terorisme, sudah enam tahun di sana tanpa diadili," katanya.

Oleh karena itu, tegasnya, penanganan terorisme di Indonesia yang lebih soft (baik) ini diyakini secara bertahap akan mampu menekan gejala terorisme di Indonesia. "Selain memang dalam beberapa tahun terakhir ini tidak ada lagi konflik horizontal bagi suburnya rekrutmen terorisme seperti konflik Ambon dan Poso," katanya.

Ditanya tentang dugaan latihan terorisme di Aceh menyusul penangkapan oleh polisi seusai menggerebek sebuah kamp latihan militer di Aceh Besar beberapa waktu lalu, Sidney belum berani menyimpulkan apakah hal itu termasuk gejala terorisme atau bukan.

Drama Century di Paripurna


KESANGSIAN publik bahwa hasil akhir Pansus Angket Bank Centruy bakal banci, ternyata tidak terbukti. Mayoritas fraksi bersuara lantang: ada penyimpangan dan pelanggaran baik sebelum maupun sesudah proses bailout. Dalam pandangan akhir pada rapat Pansus Angket Century, Selasa (23/2) malam hingga Rabu (24/2) dini hari, empat fraksi dengan jelas dan tegas menyebutkan nama-nama pejabat yang layak bertanggung jawab atas terjadinya berbagai penyimpangan dan pelanggaran.

Keempat fraksi yaitu Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, dan Fraksi Hanura menyebut nama-nama pejabat itu secara lengkap. Mereka diduga terlibat pelanggaran dalam berbagai kategori di balik skandal penggelontoran dana talangan Rp6,7 triliun ke Bank Century. Dari sederetan nama pejabat yang terlibat dalam proses sebelum dan setelah bailout, dua tokoh kunci yang semula 'diharamkan' muncul dalam pandangan akhir fraksi Pansus Angket Century dan karena itu memaksa pemerintah harus repot melobi sana-sini, akhirnya tak terbendung.

Dua tokoh itu tidak lain tidak bukan ialah Wakil Presiden Boediono, yang ketika kasus Bank Century terjadi menjabat sebagai Gubernur BI, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang dulu menduduki posisi sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Dua nama itu pula yang disimpan rapat-rapat oleh Fraksi Partai Demokrat dan pengikut setianya, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dalam pandangan akhirnya. Kedua fraksi ini menilai kebijakan bailout sudah tepat dan tidak bermasalah.

Bagi Partai Demokrat, hasil pandangan akhir Pansus Angket Century itu lagi-lagi merupakan tamparan yang memalukan. Sebab, pada pandangan awal pansus, Demokrat juga telah kalah telak, 2-7. Tujuh fraksi berpendapat kebijakan, baik sebelum maupun sesudah bailout, sarat dengan penyimpangan dan pelanggaran. Sedangkan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKB menilai kebijakan itu adalah sebuah kewajaran. Kini, dalam pandangan akhir pansus, skor itu tetap 2-7.

Padahal dari 7 fraksi itu, 4 fraksi yaitu Golkar, PAN, PKS, dan PPP merupakan anggota koalisi besar pimpinan Partai Demokrat, dan karena itu ada kadernya yang duduk di pemerintahan.
Yang menjadi persoalan, akankah drama kasus Bank Century berakhir? Jelas tidak.

Masih ada Sidang Paripurna DPR pada 2 Maret mendatang yang menentukan nasib rekomendasi Pansus Angket Bank Century. Meski sidang paripurna nanti berujung pada voting, publik jelas belum melupakan fakta pertemuan antara BPK, KPK, kejaksaan, dan kepolisian pada pertengahan Desember lalu, yang menyatakan sedikitnya ada sembilan jenis pelanggaran hukum dalam kasus Bank Century.

Kini, publik kembali diyakinkan oleh fakta dari Pansus Angket Bank Century tentang adanya tindak kejahatan hukum. Fakta-fakta itulah yang nanti menjadi ujian bagi konsistensi sikap partai-partai dan juga lembaga penegak hukum. Bisakah mereka tetap menjaga konsistensi sikap terhadap skandal Bank Century itu atau malah pada akhirnya takluk oleh rayuan derasnya politik kompromi?

Pemimpin yang Jujur dan Bertanggung Jawab

SABAN tahun kita, umat Islam, memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Namun, tiap kali itu pula kita selalu saja bertanya-tanya kapan dan di mana kita menemukan pribadi pemimpin yang mampu meneladani sosok mulia itu.

Salah satu sikap mulia yang lekat dengan pribadi Nabi Muhammad adalah kejujuran dan tanggung jawab. Berkat dua hal itulah, Muhammad diganjar dengan julukan Al Amin oleh masyarakat setempat, baik pengikutnya maupun yang memusuhinya.

Selain bakat kepemimpinan yang menonjol, sejak belia Nabi sudah terlibat gerakan moral Hilful Fudul atau sumpah keutamaan. Itulah gerakan demi membela keadilan dan kebenaran kepada siapa pun.

Jujur, berani menanggung risiko, dan bertanggung jawab itulah warisan mulia kepemimpinan Nabi yang mestinya ditauladani para pemimpin dan elite kita. Faktanya, amat susah menemukan elite kiita bersikap dan berperilaku mencontoh Nabi.

Menemukan kejujuran saja misalnya, sudah sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami. Padahal, kejujuran saja belum cukup untuk menjadi modal bagi pemimpin.

Fakta sulitnya menemukan kejujuran itu berbanding terbalik dengan anjuran meneladani sikap dan perbuatan Nabi. Di mimbar-mimbar maupun dalam teks-teks tulisan, hampir saban waktu kita mendengar para pemimpin dan penganjur mengajak kita mencontoh sikap dan perilaku Muhammad.

Akan tetapi yang kita jumpai hari-hari ini justru kian lekatnya hipokrisi atas fakta yang sudah telanjang. Soal pro dan kontra penyebutan nama dalam pandangan akhir Pansus Angket Bank Century, misalnya, menunjukkan bahwa kejujuran masih terus dikalahkan oleh kepentingan sempit yang bersifat jangka pendek.

Mengapa sekadar menyebut nama yang dalam pokok perkara sudah terang-benderang dinyatakan bermasalah mesti diperdebatkan? Bukankah kalau ada kesalahan mesti ada nama yang bertanggung jawab?

Menjadi pemimpin yang menempatkan Nabi Muhammad sebagai teladan mestinya berani mengambil risiko dan bertanggung jawab. Bukan sebaliknya, buang badan dan melemparkan tanggung jawab itu kepada anak buah. Bukan pula pemimpin yang gemar menyebut orang lain telah memfitnah, padahal yang hendak disuarakan oleh orang itu adalah kebenaran.

Maulid Nabi bukan sekadar peringatan untuk seruan. Maulid Nabi juga merupakan momentum untuk merenung dan mulai berbuat sesuai apa yang diajarkan dan diperbuat oleh Nabi.

Untuk para pemimpin di negeri ini, Maulid Nabi mestinya menggerakkan mereka untuk jujur, berani mengambil risiko, dan bertanggung jawab.

Sisi Gelap Facebook


SOROTAN terhadap dampak negatif Facebook menjadi isu yang menghangat pekan-pekan terakhir ini. Meskipun situs jaring sosial ini telah diterima secara masif sebagai produk kecanggihan teknologi informasi yang bermanfaat, di situ bersemayam pula sisi gelap dan dampak negatif yang mulai dirasakan masyarakat.

Kasus hilangnya Marietta Nova Triani atau Nova adalah contohnya. Gadis berusia 14 tahun asal Sidoarjo, Jawa Timur, itu ditemukan di Tangerang, Banten, pekan lalu, dibawa kabur seorang lelaki yang dikenalnya melalui Facebook. Kaburnya Nova itu menjadi indikasi bahwa kekhawatiran masyarakat akan dampak buruk situs itu bukan sekadar isapan jempol.

Kasus Nova bukan satu-satunya kasus. Nasib yang sama juga menimpa Stefani Abelina Tiur Napitupulu, 14, asal Surabaya serta Sylvia Russarina, 23, yang berdomisili di Semarang.

Mengingat kian meluasnya pengguna jaring sosial itu di kalangan remaja, selayaknya dicurigai lebih banyak lagi kasus serupa yang belum terungkap.

Yang mengerikan ialah hilangnya anak-anak gadis itu diiringi dugaan telah terjadi pelecehan seksual atau tindak pencabulan. Artinya, Facebook telah dipergunakan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk menarik manfaat seksual. Singkatnya, inilah kejahatan seksual modus baru yang mengancam anak-anak gadis berusia dini yang dengan mudahnya mengakses teknologi maju itu.

Teknologi maju tak dapat dihindari dan hanya bangsa yang bodoh yang menolak kemajuan. Facebook, Friendster, Twitter, dan situs jaring sosial lain di internet adalah produk teknologi informasi yang tidak bisa dibendung kehadirannya.
Internet telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan modern. Adalah mustahil memisahkan kehidupan modern dari internet.

Oleh karena itu, keliru besar melarang anak-anak dan remaja mengakses internet dan berkomunikasi melalui situs jaring sosial hanya karena muncul kasus-kasus penculikan dan penipuan di sana.

Yang harus dilakukan adalah terus-menerus membangun kesadaran yang kritis bahwa selalu ada peluang terjadinya sisi hitam dari sisi yang putih. Seharusnya kita sudah menyadari betapa di balik kekuatan situs jaring sosial yang manfaatnya luar biasa itu, tersembunyi pula bahaya yang sama dahsyatnya. Bukankah ada dua sisi dari sebuah koin?

Maka, pilihannya sangat terang benderang, yaitu membuat anak-anak lebih cerdas, lebih cermat, dan lebih berhati-hati dalam mengakses internet. Sebab, seperti halnya dunia nyata, dunia maya juga dipenuhi bahaya.

Akan tetapi, bagaimana orang tua dapat menyelami dunia anak-anaknya yang baru itu bila orang tua tiada mau mengikuti perubahan zaman?

Nasihat agar orang tua melek internet adalah anjuran yang baik untuk dilaksanakan agar orang tua lebih mengerti dunia anak-anaknya. Namun lebih penting lagi menciptakan komunikasi yang terbuka dan berkualitas antara anak dan orang tua sehingga tercipta kemampuan berbagi (sharing).

Semua anjuran itu telah menjadi klise, tetapi harus kembali diingatkan agar anak-anak tidak perlu mencari-cari suasana itu melalui situs jaring sosial di internet.(MI/270210)

Rakyat Yatim Piatu


IBARAT anak ayam kehilangan induk, itulah yang kini dialami rakyat Indonesia. Pemerintah pusat maupun daerah sepertinya lebih disibukkan mengurus berbagai perkara politik dan abai mengurus persoalan-persoalan nyata masyarakat.

Tengoklah betapa lambannya pemerintah menangani bencana longsor di Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pemerintah Kabupaten Bandung baru menerima informasi bencana itu 6 jam kemudian. Hingga sekitar 12 jam kemudian, Bupati Bandung Obar Sobarna belum tiba di lokasi.

Kenyataan itu sangat mengherankan karena lokasi longsor hanya berjarak 30 kilometer dari Ciwidey yang dikenal sebagai kawasan wisata agrobisnis.

Hal itu semestinya tak boleh terjadi. Sebab, kelambanan menangani bencana akan memperkecil peluang menyelamatkan korban.
Sebagai negara yang berulang kali tertimpa bencana, pemerintah semestinya memiliki standar penanganan bencana.

Bagaimana dengan respons pemerintah pusat? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri lebih memilih menghadiri dan membuka pertemuan Forum Menteri Lingkungan Hidup Sedunia di Bali ketimbang mengunjungi lokasi longsor. Padahal, persoalan nyata lingkungan saat itu ada di lokasi longsor Pasir Jambu, bukan di Bali.

Pemerintah rupanya tidak hanya abai menangani persoalan insidental seperti bencana, tetapi juga abai mengatasi persoalan-persoalan permanen, seperti perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, buruknya pelayanan kesehatan untuk rakyat, serta pengendalian laju pertumbuhan penduduk.

Menurut statistik resmi pemerintah, dewasa ini TKI yang bekerja di luar negeri mencapai 6 juta orang, 70% di antaranya wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka inilah yang acap menjadi sasaran tindak kekerasan dan sangat membutuhkan perlindungan pemerintah tetapi tidak mendapatkannya.

Padahal, pada 2009, TKI menyumbang devisa sekitar Rp162 triliun kepada negara. Itu artinya, pemerintah bersemangat menerima devisa dari para TKI itu, tetapi bersikap setengah-setengah melindungi mereka.

Di bidang kesehatan, pemerintah mematok anggaran kesehatan besarnya 2% dari Rp1.000 triliun APBN 2009. Persentase anggaran kesehatan itu kurang dari separuh standar anggaran yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni minimal 5%.

Jangan heran, bila kita menyaksikan pemberitaan media massa ada penderita penyakit pembesaran kepala harus menginap di masjid RSCM untuk menunggu giliran ditangani, atau orang tua yang memasung anggota keluarga mereka yang menderita sakit jiwa akibat ketiadaan biaya.

Pemerintah pun sepertinya tidak mampu menekan laju pertumbuhan penduduk yang masih dalam kisaran 1,3% per tahun. Padahal, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%-10% per tahun, pertumbuhan penduduk harus ditekan hingga di bawah 1% per tahun. Itu artinya, jika pemerintah gagal menekan laju pertumbuhan penduduk, pemerintah sesungguhnya juga gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membiarkan rakyat hidup miskin.

Terlalu banyak contoh untuk menyebut betapa rakyat seperti yatim piatu. Beruntung, masih ada masyarakat madani, seperti lembaga swadaya masyarakat, yang bersedia 'mengasuh' rakyat.

Akan tetapi, menyerahkan penanggulangan begitu banyak persoalan rakyat kepada masyarakat madani hanya akan menunjukkan betapa lemahnya negara.

Kita membutuhkan negara yang otoritatif dalam melindungi warga negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. (Media Indonesia/270210)